LAESAN: Mitos Kesenian Berstigma Negatif
Oleh: Andhina Nur jayanti
071017083
Mahasiswa S1 Progaram Studi Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Ketika saya bersama tim berkunjung ke Lasem dalam
rangka pembuatan film dokumenter tentang Batik Lasem of Indonesia Heritage.
Informan kami menginformasikan akan adanya kesenian tradisional khas Lasem
yaitu Laesan. Kesenian yang baru di hidupkan kembali ini, dahulu telah mati dan
terkubur dalam hati pecintanya untuk rentang waktu yang sangat lama.
Terkuburnya kesenian Laesan lantaran munculnya stigma
negatif pada tahun 1965. Tradisi ini
dianggap memiliki kaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan
Lembaga sayap PKI di Indonesia. Laesan
adalah kesenian yang harus dijauhi. Dampak yang luar biasa pun terjadi pada
perkembangan keseniaan tradisional Laesan. Sehingga sulit mengembangkan
kesenian tradisional ini dan membatasi setiap ruang gerak para penggiat seni
itu sendiri. Padahal kecintaan terhadap tradisi hiburan rakyat ini sudah
mendarah daging di Lasem jauh sebelum pemberontakan G30SPKI itu terjadi.
Pada zaman orde baru Laesan tetap selalu di tentang
kehadirannya. Kesenian ini dianggap menyimpang dan keseniaan makar. Oleh karena
itu, tidak heran bila setiap pementasaan Laesan selalu dibubarkan aparat
berwenang. Sebagian masyarakat setempat pun terpengaruh situasi yang tidak
sehat ini. Mereka mencaci, memaki, meneror dan mengancam para pelaku pemain
Laesan. Hal ini membuat para pelaku pemain Laesan ketakutan dan berhenti
mementaskan kesenian Laesan, demi keselamatan pelaku kesenian dan keluarganya.
Terpaksa Laesan harus dikubur dalam-dalam.
Sebenarnya, Laesan merupakan tradisi yang murni
berfungsi untuk menghibur masyarakat dan juga menjadi salah satu media siar Agama
Islam di Lasem sejak zaman Sunan Bonang. Para penggiat kesenian ini adalah
mereka yang mendapat kepercayaan dari penerus terdahulunya. Laesan ada jauh
sebelum Lekra dan dalam pementasaannya tidak ada unsur-unsur untuk makar maupun
berpatokkan pada Lekra. Namun, stigma negatif sudah melekat erat di dalamnya.
Sehingga dibutuhkan waktu yang cukup panjang agar keyakinan masyarakat terhadap
stigma negatif itu sedikit demi sedikit luntur dan bergeser seiring dengan
kemajuan zaman.
Mbah Masrub, sesepuh Laesan mengatakan bahwasanya
Laesan merupakan salah satu kesenian khas Lasem yang berasal dari kata Lisan.
Lisan yang dimaksud adalah seni bertutur kata. Karena Laesan pada awal mulanya
terinspirasi dari ucapan-ucapan yang disyairkan seorang sosok wanita yang menenangkan
bayi dalam gendongannya. Biasanya bila ada bayi yang menangis atau rewel (menagis tanpa henti) seorang ibu
akan menggendong anaknya dalam dekapan dan menimang-nimangnya serta menyanyikan
lagu-lagu agar sang anak berhenti menangis dan terlelap tidur. Hal tersebut
yang menyebabkan mengapa penari Laesan yang seorang Laki-Laki sangat gemulai
menari saat pentas Laesan.
Saat ini, kesenian tradisional Laesan sudah mulai
dipentaskan kembali. Ini semua berkat keyakinan dan konsistensi dari para
pecintanya untuk menyelamatkan dan melestarikan keseniaan Laesan. Kembali
hidupnya keseniaan Laesan ditandai dengan pementasan untuk pertama kalinya
dalam acara Dies Natalies SMP Negeri 1 Sluke. Momentum ini menjadi saksi
sejarah dimainkannya kembali Laesan setelah sirna sepuluh tahun lamanya.
Meskipun pertunjukan Laesan tidak ditampilkan secara orisinil, namun dukungan
yang luar biasa tetap didapatkan. Selanjutnya, dukungan dan support dari
masyarakat dibutuhkan untuk melepas belenggu stigma negatif dan mementaskan kembali
tradisi khas Lasem ini. Karena Laesan tumbuh dan berkembang di masyarakat bukan
milik perorangan, organisasi ataupun elemen tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar