Minggu, 06 Januari 2013

LAESAN ya LASEM :)

LAESAN: Mitos Kesenian Berstigma Negatif
Oleh: Andhina Nur jayanti
071017083
Mahasiswa S1 Progaram Studi Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

Ketika saya bersama tim berkunjung ke Lasem dalam rangka pembuatan film dokumenter tentang Batik Lasem of Indonesia Heritage. Informan kami menginformasikan akan adanya kesenian tradisional khas Lasem yaitu Laesan. Kesenian yang baru di hidupkan kembali ini, dahulu telah mati dan terkubur dalam hati pecintanya untuk rentang waktu yang sangat lama.
Terkuburnya kesenian Laesan lantaran munculnya stigma negatif pada tahun 1965.  Tradisi ini dianggap memiliki kaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan Lembaga sayap PKI di Indonesia.  Laesan adalah kesenian yang harus dijauhi. Dampak yang luar biasa pun terjadi pada perkembangan keseniaan tradisional Laesan. Sehingga sulit mengembangkan kesenian tradisional ini dan membatasi setiap ruang gerak para penggiat seni itu sendiri. Padahal kecintaan terhadap tradisi hiburan rakyat ini sudah mendarah daging di Lasem jauh sebelum pemberontakan G30SPKI itu terjadi.
Pada zaman orde baru Laesan tetap selalu di tentang kehadirannya. Kesenian ini dianggap menyimpang dan keseniaan makar. Oleh karena itu, tidak heran bila setiap pementasaan Laesan selalu dibubarkan aparat berwenang. Sebagian masyarakat setempat pun terpengaruh situasi yang tidak sehat ini. Mereka mencaci, memaki, meneror dan mengancam para pelaku pemain Laesan. Hal ini membuat para pelaku pemain Laesan ketakutan dan berhenti mementaskan kesenian Laesan, demi keselamatan pelaku kesenian dan keluarganya. Terpaksa Laesan harus dikubur dalam-dalam.
Sebenarnya, Laesan merupakan tradisi yang murni berfungsi untuk menghibur masyarakat dan juga menjadi salah satu media siar Agama Islam di Lasem sejak zaman Sunan Bonang. Para penggiat kesenian ini adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari penerus terdahulunya. Laesan ada jauh sebelum Lekra dan dalam pementasaannya tidak ada unsur-unsur untuk makar maupun berpatokkan pada Lekra. Namun, stigma negatif sudah melekat erat di dalamnya. Sehingga dibutuhkan waktu yang cukup panjang agar keyakinan masyarakat terhadap stigma negatif itu sedikit demi sedikit luntur dan bergeser seiring dengan kemajuan zaman.
Mbah Masrub, sesepuh Laesan mengatakan bahwasanya Laesan merupakan salah satu kesenian khas Lasem yang berasal dari kata Lisan. Lisan yang dimaksud adalah seni bertutur kata. Karena Laesan pada awal mulanya terinspirasi dari ucapan-ucapan yang disyairkan seorang sosok wanita yang menenangkan bayi dalam gendongannya. Biasanya bila ada bayi yang menangis atau rewel (menagis tanpa henti) seorang ibu akan menggendong anaknya dalam dekapan dan menimang-nimangnya serta menyanyikan lagu-lagu agar sang anak berhenti menangis dan terlelap tidur. Hal tersebut yang menyebabkan mengapa penari Laesan yang seorang Laki-Laki sangat gemulai menari saat pentas Laesan.
Saat ini, kesenian tradisional Laesan sudah mulai dipentaskan kembali. Ini semua berkat keyakinan dan konsistensi dari para pecintanya untuk menyelamatkan dan melestarikan keseniaan Laesan. Kembali hidupnya keseniaan Laesan ditandai dengan pementasan untuk pertama kalinya dalam acara Dies Natalies SMP Negeri 1 Sluke. Momentum ini menjadi saksi sejarah dimainkannya kembali Laesan setelah sirna sepuluh tahun lamanya. Meskipun pertunjukan Laesan tidak ditampilkan secara orisinil, namun dukungan yang luar biasa tetap didapatkan.  Selanjutnya, dukungan dan support dari masyarakat dibutuhkan untuk melepas belenggu stigma negatif dan mementaskan kembali tradisi khas Lasem ini. Karena Laesan tumbuh dan berkembang di masyarakat bukan milik perorangan, organisasi ataupun elemen tertentu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar